Senin, 31 Oktober 2011

Adakah Anjuran untuk Memperlama Sujud

egala puji bagi Allah, pemberi segala nikmat. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Kita ketahui bersama bahwa do’a ketika sujud adalah waktu terbaik untuk berdo’a.

Seperti disebutkan dalam hadits,

أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ

Yang paling dekat antara seorang hamba dengan Rabbnya adalah ketika ia sujud, maka perbanyaklah do’a ketika itu.” (HR. Muslim no. 482, dari Abu Hurairah)

Namun seringkali kita lihat di lapangan, sebagian orang malah seringnya memperlama sujud terakhir ketika shalat, tujuannya adalah agar memperbanyak do’a ketika itu. Apakah benar bahwa saat sujud terakhir mesti demikian? Semoga sajian singkat ini bermanfaat.

Al Baro’ bin ‘Azib mengatakan,

كَانَ رُكُوعُ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - وَسُجُودُهُ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ وَبَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ قَرِيبًا مِنَ السَّوَاءِ

Ruku’, sujud, bangkit dari ruku’ (i’tidal), dan duduk antara dua sujud yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya hampir sama (lama dan thuma’ninahnya).” (HR. Bukhari no. 801 dan Muslim no. 471)

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin pernah ditanya,

“Apakah diperkenankan memperpanjang sujud terakhir dari rukun shalat lainnya, di dalamnya seseorang memperbanyak do’a dan istighfar? Apakah shalat menjadi cacat jika seseorang memperlama sujud terakhir?”

Beliau rahimahullah menjawab,

“Memperpanjang sujud terakhir ketika shalat bukanlah termasuk sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena yang disunnahkan adalah seseorang melakukan shalat antara ruku’, bangkit dari ruku’ (i’tidal), sujud dan duduk antara dua sujud itu hampir sama lamanya. Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam hadits Baro’ bin ‘Azib, ia berkata, “Aku pernah shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku mendapati bahwa berdiri, ruku’, sujud, duduk beliau sebelum salam dan berpaling, semuanya hampir sama (lamanya). ” Inilah yang afdhol. Akan tetapi ada tempat do’a selain sujud yaitu setelah tasyahud (sebelum salam). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengajarkan ‘Abdullah bin Mas’ud tasyahud, beliau bersabda, “Kemudian setelah tasyahud, terserah padamu berdo’a dengan doa apa saja”. Maka berdo’alah ketika itu sedikit atau pun lama setelah tasyahud akhir sebelum salam. (Fatawa Nur ‘ala Ad Darb, kaset no. 376, side B)

Dalam Fatawa Al Islamiyah (1/258), Syaikh ‘Abdullah Al Jibrin rahimahullah berkata, “Aku tidak mengetahui adanya dalil yang menyebutkan untuk memperlama sujud terakhir dalam shalat. Yang disebutkan dalam berbagai hadits, rukun shalat atau keadaan lainnya itu hampir sama lamanya.”

Syaikh ‘Abdullah Al Jibrin rahimahullah juga menjelaskan, “Aku tidak mengetahui adanya dalil yang menganjurkan untuk memperlama sujud terakhir dalam shalat. Akan tetapi, memang sebagian imam melakukan seperti ini sebagai isyarat pada makmum bahwa ketika itu adalah raka’at terakhir atau ketika itu adalah amalan terkahir dalam shalat. Karenanya, mereka pun memperpanjang sujud ketika itu. Dari sinilah, mereka maksudkan agar para jama’ah tahu bahwa setelah itu adalah duduk terakhir yaitu duduk tasyahud akhir. Namun alasan semacam ini tidaklah menjadi sebab dianjurkan memperpanjang sujud terakhir ketika itu.” (Fatawa Syaikh Ibnu Jibrin, Ahkam Qoth’ush Sholah, Fatawan no. 2046 dari website beliau)

Dari penjelasan singkat ini, nampaklah bahwa tidak ada anjuran untuk memperlama sujud terakhir ketika shalat agar bisa memperbanyak do’a ketika itu. Yang tepat, hendaklah gerakan rukun yang ada sama atau hampir sama lamanya dan thuma’ninahnya. Silakan membaca do’a ketika sujud terakhir, namun hendaknya lamanya hampir sama dengan sujud sebelumnya atau sama dengan rukun lainnya. Apalagi jika imam sudah selesai dari sujud terkahir dan sedang tasyahud, maka selaku makmum hendaklah mengikuti imam ketika itu. Karena imam tentu saja diangkat untuk diikuti. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلاَ تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ

Imam itu diangkat untuk diikuti, maka janganlah diselisihi.” (HR. Bukhari no. 722, dari Abu Hurairah)

Hanya Allah yang memberi taufik.

Referensi: Website Syaikh Sholih Al Munajid - Al Islam Sual wa Jawab (http://islamqa.com/ar/ref/111889/ )

Artikel www.rumaysho.com

Read More......

Senin, 24 Oktober 2011

Tugas Matematika Dasar

Assignment 2

Read More......

Prioritas Bersedekah

"Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan salat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa." (al-Baqarah [2]: 177)

Dalam ayat di atas, maksud yang belum saya pamahi dengan benar adalah penjelasan tentang pemberian harta yang disenangi oleh seseorang kepada (1) kerabat, (2) anak yatim, (3) orang-orang miskin, (4) orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), (5) peminta-minta, dan (6) untuk memerdekakan hamba sahaya.

Selama ini, pertanyaan yang sering menghinggapi saya adalah apakah dalam memberikan (baca: menyedekahkan) harta yang kita senangi, kita boleh menentukan sendiri pihak yang akan menerima harta kita: (misalnya) boleh diberikan kepada orang-orang miksin, meskipun masih ada anak yatim atau kerabat yang fakir? ataukah kita memberikan harta sesuai dengan skala prioritas sesuai urutan penyebutan pihak penerima sedekah di dalam ayat di atas: (misalnya) sebaiknya kita tidak menyalurkan harta kita kepada anak yatim selama masih ada kerabat yang membutuhkan?

Dari sejumlah referensi, terutama kitab-kitab tafsir, yang saya baca terkait dengan ayat di atas, saya dapat mencatat dua hal yang patut kita perhatikan dalam mengeluarkan harta kita. Pertama, harta yang kita keluarkan adalah harta yang kita senangi. Penjelasan ini juga dikuatkan dengan firman Allah swt. di dalam surah Âli 'Imrân, ayat 92.

Kedua, kita memberikan harta kepada golongan yang disebutkan di dalam ayat tersebut sesuai dengan prioritas yang disebutkan di dalam ayat tersebut. Prioritas yang dimaksud adalah sesuai dengan urutan penyebutan golongan tersebut. Kerabat lebih prioritas daripada anak yatim. Anak yatim lebih prioritas dari pada orang-orang miskin. Orang-orang miskin lebih prioritas daripada musafir. Dan begitu seterusnya. Karena itu, jika kita hendak menyedahkan harta kita, sejatinya kita merangkingkan golongan yang berhak menerima sedekah yang disebutkan di dalam ayat tersebut sebagai berikut.

1. Kerabat (yang fakir).
2. Anak yatim (yang fakir).
3. Orang-orang miskin.
4. Musafir.
5. Peminta-minta.
6. (Biaya) untuk memerdekakan hamba sahaya.

Dalam menyalurkan harta, jika memang terbatas, sebaiknya diberikan kepada pihak penerima nomor satu terlebih dahulu, sebelum diberikan kepada pihak penerima nomor dua. Jangan dilongkap! Jika di antara kerabat kita masih ada yang membutuhkan bantuan finansial dari kita, kita harus lebih memerhatikan mereka. Mereka lebih berhak untuk mendapat perhatian dan menerima bantuan kita, daripada pihak penerima sedekah yang lain. Hal itu karena kita yang lebih bertanggung jawab untuk mengayomi kerabat dan atau keluarga kita daripada orang lain.

Kita berdosa dan akan dituntut di hari Kiamat kelak, jika kita mengurangi hak-hak atau kesejahteraan kerabat atau keluarga kita demi mengalokasikan harta untuk diberikan kepada anak-anak yatim, orang-orang miskin, dengan kedok hendak mengayomi. Mengayomi anak yatim itu baik, tetapi mengayomi dengan cara seperti itu tidak benar: baik belum tentu benar!

Di sisi lain, memberikan harta kepada kerabat memiliki keistimewaan daripada memberikan harta kepada selain kerabat. Rasulullah saw. menegaskan bahwa ketika seorang muslim memberikan sedekah kepada orang miskin, sedekah yang ia berikan hanya bernilai sedekah, tetapi jika ia memberikan sedekah kepada keluarga atau kerabatnya, selain ia mendapat pahala sedekah, ia juga mendapat pahala menyambung silaturahmi (shadaqatuka 'alal-miskîn shadaqatun, wa 'alâ dzawî rahimika shadaqatun wa shilatun). Begitu hadits riwayat Baihaqi.

Dalam konteks perusahaan, posisi karyawan dalam sebuah perusahaan, menurut hemat saya, sama dengan posisi kerabat. Ketika perusahaan memiliki alokasi dana untuk disedekahkan, seyogianya dana itu disalurkan kepada pihak-pihak yang berhak untuk menerima sesuai prioritasnya. Sebelum diberikan kepada anak yatim, orang-orang miskin, musafir, peminta-minta, harus dipastikan terlebih dahulu apakah para karyawan dari perusahaan tersebut sudah tidak ada yang membutuhkan bantuan untuk menutupi kebutuhan primernya?

Mengukur karyawan yang membutuhkan bantuan atau tidak, salah satunya, dapat dilakukan dengan memerhatikan gajinya. Sudahkah gaji yang ia terima mengantarkannya pada level kehidupan nyaman, ataukah gaji yang ia terima tidak dapat membuatnya keluar dari level mencari aman, atau bahkan mencari selamat.

Hemat saya, sebuah perusahaan sudah layak menyalurkan sedekahnya kepada nonkaryawan, seperti anak yatim dan orang-orang miskin, jika para karyawannya sudah berada di level nyaman, lebih-lebih jika sudah berada di level senang dan bahagia.

Jika kita menggarisbawahi hadits riwayat Baihaqi di atas, dapat kita analogikan bahwa jika perusahaan memberikan sedekah kepada nonkaryawan, perusahaan hanya akan mendapatkan pahala sedekah. Akan tetapi, jika perusahaan menyalurkan sedekahnya kepada karyawan, perusahaan akan mendapatkan dua pahala sekaligus, yakni pahala bersedekah dan pahala menjalin tali silaturahmi. Menjalin tali silaturami dapat diartikan, antara lain, dapat menumbuhkan sense of belonging dan loyalitas karyawan terhadap perusahaan.

Semoga kita dihindarkan dari perilaku menyalurkan sedekah hanya demi mencari prestise, sementara orang-orang yang sebenarnya lebih berhak untuk menerima sedekah kita masih meraung-raung kelaparan. Amin.

Wallâhu waliyyut-taufîq.

Read More......

Selasa, 18 Oktober 2011

Lecture Note General Chemistry

Lecturenote Week 1

Read More......
more Knowledge more Contribution © 2008. Free Blogspot Templates Design by : Sonz Design Corp.